Senin, 23 Mei 2016

RESPIRASI PADA TUMBUHAN




RESPIRASI PADA TUMBUHAN

RIMA MELATI (1310421092)
KELOMPOK III A (KELAS C)
Jurusan Biologi, Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas, Padang

ABSTRAK
Praktikum respirasi tumbuhan dilakukan pada tanggal 13 Maret 2015. di Laboratorium  Teaching IV Jurusan Biologi Fakultas Matimatika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas. Tujuan dari percobaan ini adalah untuk mengetahui pengaruh suhu terhadap kecepatan respirasi aerobik kecambah dan mengetahui kecepatan respirasi biji yang sedang berkecambah dengan metoda titrasi. Pada praktikum ini dilakukan dua percobaan yaitu pengaruh suhu terhadap kecepatan respirasi aerobik dan penentuan kecepatan respirasi biji yang sedang berkecambah. Cara kerja pada percobaan pertama adalah dengan mengikatkan kecambah yang telah diletakkan didalam kain kasa dan menggantungnya didalam botol kemudian ditempatkan pada suhu tertentu. Cara kerja percobaan kedua tidak jauh berbeda dengan yang pertama hanya jenis kecambah dan larutan yang digunakan yang berbeda. Hasil yang diperoleh dari praktikum yaitu . Laju respirasi yang paling cepat terjadi kecambah pada perlakuan suhu 45oC 0 mg CO2/g/h dan laju respirasi paling lambat terjadi pada kecambah yang diberikan perlakuan pada suhu 5°C 0,088 mg CO2/g/h).
Kata kunci       : Biji, respirasi, suhu, tumbuhan.


PENDAHULUAN

Respirasi merupakan suatu proses pelepasan energi kimia molekul organik di dalam sel. Energi molekul organik adalah energi matahari yang disimpan di dalamnya, terjadi pada proses fotosintesis. Pada proses fotosintesis terjadi adanya pembentukan gula dari molekul-molekul karbohidrat dan air dengan bantuan cahaya matahari (Dwijoseputro, 1994).
Selama terjadinya fotosintesis dihasilkan oksigen, maka pada saat terjadinya respirasi, oksigen ini dibutuhkan untuk merombak senyawa gula untuk menghasilkan energi ATP. Respirasi menggunakan makanan yang mengakibatkan pembentukan ATP. Kemudian dirubah menjadi ADP dan menghasilkan energi. Jadi respirasi didefenisikan sebagai proses penguraian bahan organik menjadi energi (Darmawan dan Baharsjah,1980).
Energi yang ditangkap dari proses oksidasi sempurna beberapa senyawa dapat digunakan untuk mensintesis molekul lain yang dibutuhkan untuk pertumb uhan. Bila tumbuhan sedang tumbuh, laju respirasi meningkat sebagai akibat dari permintaan pertumbuhan, tapi beberapa senyawa yang hilang dialihkan ke dalam reaksi sintesis dan tidak pernah muncul sebagai CO2. Respirasi terjadi pada seluruh sel yang hidup, khususnya di Mitokondria. Proses ini bertujuan untuk membangkitkan energi kimia (ATP). ATP dibentuk dari penggabungan ADP + Pi (fosfat anorganik) dengan bantuan enzim H+ -ATP-ase, dalam rantai transfer elektron yang terdapat pada membran mitokondria. Peristiwa aliran elektron dan atau proton (H+) dalam rantai tranfer elektron pada dasarnya adalah peristiwa Reduksi Oksidasi (Redoks). Oleh sebab itu, pembentukan ATP yang digerakkan oleh energi hasil oksidasi dan perbedaan proton antara ruang antar membran dengan membran sebelah dalam mitokondria disebut fosfotilasi oksidatif (Salisbury and Ross, 1995).
            Respirasi pada tumbuhan pada dasarnya sama dengan hewan, namun juga ada kekhasannya. Proses respirasi pada dasarnya adalah proses pembongkaran zat makanan sumber energi (umumnya glukosa) untuk memperoleh energi kimia berupa ATP. Namun demikian, zat sumber energi tidak selalu siap dalam bentuk glukosa, melainkan masih dalam bentuk cadangan makanan, yaitu berupa sukrosa atau amilum. Karena itu zat tersebut harus terlebih dahulu di bongkar secara hidrolitik. Demikian pula bila zat cangan makanan yang hendak dibongkar adalah lipida (lemak) atau protein (Kimball, 1983).
Berdasarkan kebutuhannya terhadap oksigen, respirasi dibagi menjadi 2 macam yaitu respirasi anaerob : tidak memerlukan oksigen tetapi penguraian bahan organiknya tidak lengkap. Respirasi macam ini jarang terjadi, hanya dalam keadaan khusus. Substrat respirasi adalah glukosa. Respirasi aerob  memerlukan oksigen, penguraiannya lengkap, sampai dihasilkan CO2 dan H2O. Respirasi merupakan rangkaian dari 50 atau lebih reaksi komponen, masing-masing dikatalisis oleh enzim yang berbeda. Respirasi merupakan oksidasi (dengan produk yang sama seperti pembakaran) yang berlangsung di medium air. Dengan PH mendekati netral, pada suhu sedang dan tanpa asap. Pemecahan bertahap dan berjenjang molekul besar merupakan cara untuk mengubah energi menjadi ATP. Lebih lanjut, sejalan berlangsungnya dengan pemecahan, kerangka karbon antara disediakan untuk menghasilkan berbagai produk esensial lainnya dari tumbuhan. Produk ini meliputi asam amino untuk protein, nukleotida untuk asam nukleat, dan prazat karbon untuk pigmen porfirin, dan untuk lemak, sterol, karetenoid, pigmen flavonoid seperti antosianin dan senyawa aromatic lainnya, seperti lignin (Dwijoseputro, 1994).
Jika karbohidrat, misalnya sukrosa, fruktan, atau pati merupakan substrat respirasi dan jika mereka secara sempurna dioksidasi, maka volume O2 yang diambil persis berimbang dengan CO2 yang dilepaskan. Nisbah CO2 terhadap O2 ini disebut kuosien respirasi atau RQ, sering hampir mendekati satu. Contoh, RQ yang diperoleh dari daun berbagai jenis tumbuhan rata-rata 1,05. biji yang sedang berkecambah dari tumbuhan serealia dan kacang-kacangan seperti kapri dan kacang, yang mengandung pati sebagai cadangan makanan utama, juga menunjukkan RQ sekitar 1,0. tapi, biji berbagai tumbuhan lain banyak mengandung lemak atau minyak yang kaya hidrogen dan rendah kandungan oksigennya. Bila minyak dan lemak dioksidasi selama perkecambahan, RQ sering hanya 0,7, sebab cukup banyak oksigen diperlukan untuk mengubah hidrogen menjadi H2O dan mengubah karbon menjadi CO2 (Salisbury dan Ross, 1995).
Faktor-faktor yang mempengaruhi respirasi adalah ketersediaan substrat ; laju respirasi daun sering lebih cepat segera setelah matahari tenggelam saat kandungan gula tinggi. Daun bagian bawah ternaungi respirasi lebih lambat dari daun sebelah atas yang terkena cahaya matahari berhubung kandungan pati dan gula, ketersediaan O2 ; pada akar, batang, dan daun sedikit mempengaruhi respirasi karena sitokrom oksidase mempunyai afinitas yang tinggi terhadap oksigen biarpun konsentrasi hanya 0,05 %, suhu ; peningkatan suhu sampai 40 ÂșC atau lebih menurunkan respirasi, karena enzim mengalami denaturasi untuk mencegah metabolik yang semestinya terjadi, jenis dan umur tanaman ; umunya bakteri, fungi, dan ganggang berespirasi lebih cepat dibandingkan dengan tumbuhan berbiji. Berdasarkan bobot kering hanya mengandung sedikit makanan dan tidak mempunyai sel nonmetabolik (Burhan, 1997).
Faktor luar diantaranya adalah konsentrasi oksigen, suhu, dan cahaya. Oksigen sangat penting dalam respirasi, karena oksigen adalah penerima elektron terakhir yang menentukan keberhasilan terbentuknya ATP. Karena itu jika konsentrasi O2 rendah maka laju respirasi rendah. Suhu sangat mempengaruhi respirasi karena respirasi adalah reaksi enzim. Pada reaksi metabolisme, ketika suhu naik 100C maka laju respirasi naik 2-3 lipat. Tapi pada organisme berlaku sampai pada suhu optimum. Hal ini disebabkan makin naik suhu maka energi kinetis larutan juga akan meningkat yang mempercepat reaksi. Melampaui suhu optimum laju reaksi menurun sampai suhu maksimum. Hal ini disebabkan tinggi suhu akan mempengaruhi kerja enzim (Lakitan, 2004).
Suhu tinggi (diatas optimum) akan merusak tanaman dengan mengacau laju respirasi dan absorbsi air. Bila suhu udara meningkat, laju respirasi meningkat, karena penurunan tekanan defisit uap dari udara yang hangat dan suhu yang tinggi pada daun yang mengakibatkan peningkatan tekanan uap air pada daun. Kelayuan akan terjadi jika absorbsi terbatas karena kurangnya air atau kerusakan system vaskuler atau system perakaran. Tingkat kerusakan akibat suhu tinggi, lebih besar pada jaringan yang lebih muda, karena terjadi denaturasi protoplasma oleh dehidrasi (Jumin, 2002).
Antara suhu 5 oC samapi 25 oC laju respirasi akan meningkat lebih dari dua kali lipat untuk setiap kenaikan suhu sebesar 10 oC. Jika ditingkatkan sampai sekitar 35 oC, laju respirasi tetap meningkat tetapi dengan nilai Q10 yang lebih rendah. Penurunan nilai Q10 ini diduga disebabkan karena peran oksigen melalui kutikula atau epidermis tidak mencukupi kebutuhan. Pada suhu yang lebih tinggi lagi (sekitar 40 oC) laju respirasi akan mulai menurun, hal ini disebabkan karena sebagian enzim-enzim yang berperan akan mulai mengalami denaturasi (Kumar, 2003).
Enzim adalah protein, sifat protein jika suhu tinggi maka protein akan mengalami koagulasi, sehingga sisi aktif enzim akan terganggu. Umumnya semakin tinggi temperature penurunan kecepatan respirasi semakin cepat. Suhu juga mempengaruhi kelarutan oksigen. Yang ketiga yaitu cahaya, cahaya secara tidak langsung mempengaruhi respirasi sehubungan ketersediaan substrat. Jika cahaya cukup maka proses fotosintesis tinggi mengakibatkan tersedianya senyawa karbohidrat  sebagai substrat respirasi. Hal ini bisa dibuktikan dimana laju respirasi 1-2 jam setelah fotosintesis aktif, laju rspirasi lebih tinggi dibandingkan dengan respirasi gelap. Demikian juga daun cahaya, laju respirasi lebih tinggi (70-90 umol CO2/ gr biomassa perjam) dibandingkan dengan daun yang biasa terlindung (20-45 umol CO2 / g biomassa perjam) (Lakitan, 2004).
Adapun tujuan dari percobaan ini adalah untuk mengetahui pengaruh suhu terhadap kecepatan respirasi aerobik kecambah dan mengetahui kecepatan respirasi biji yang sedang berkecambah dengan metoda titrasi. Pada praktikum ini dilakukan dua percobaan yaitu pengaruh suhu terhadap kecepatan respirasi aerobik dan penentuan kecepatan respirasi biji yang sedang berkecambah.
PELAKSANAAN PRAKTIKUM
Waktu dan Tempat
Praktikum tentang respirasi pada tumbuhan dilaksanakan pada hari Senin, tanggal 13 Apri 2015, yang bertempat di Laboratorium Teaching IV, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas, Padang.

Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan pada praktikum percobaan pengaruh suhu terhadap kecepatan respirasi aerobik adalah botol, aluminium foil, kain kassa, benang, label, karet gelang, CO2 meter, gelas piala, pipet tetes, gelas ukur, pendingin, dan inkubator. Sedangkan bahan yaitu kecambah mentimun (Cucumis sativus)  umur 3 hari dan untuk percobaan penentuan kecepatan respirasi biji yang berkecambah menggunakan botol, erlenmayer, kain kasa, benang, gunting, buret, biji kacang hijau  (Phaseolus radiatus) 4  hari.
NaOH 0,2 N, dan HCl 0,1 N. Dalam praktikum ini ada dua percobaan yang dilakukan antara lain:

Cara Kerja
a.      Pengaruh Suhu Terhadap Kecepatan Respirasi Aerobik
Kecambah Cucumis sativus ditimbang sebanyak 10 g, dibungkus dengan kain kasa dan ikat ujungnya dengan benang yang disisakan memenjang, dimasukkan ke dalam botol dengan posisi tergantung, dengan cara mengikat ujung benang pada bibir botol, ditutup dengan aluminium foil dan ikan dengan karet gelang, buat kontrol dengan botol tanpa kecambah, diletakkan pada suhu kamar, diberi label pada masing-masing botol dan diletakkan pada refrigerator (50C), ruangan (270C), dan inkubator (450C), setelah satu jam ukur kadar CO2 yang dihasilkan dengan menggunakan CO2 meter, hitung laju respirasi dengan menggunakan rumus :

Rsp      = V (S-C) 44 x 1 x 1
                            22,4  t    w
Ket :
Rsp      : laju respirasi (mg CO2/g/h)
V          : volume botol
S          : skala konsentrasi sampel
C         : skala konsentrasi control
44        : BM CO2
22,4     : ketetapan
t           : waktu
w         : berat sampel

b.      Penentuan Kecepatan Respirasi Biji Yang Sedang Berkecambah
Dimasukkan 20 mL NaOH 0,2 N dalam masing-masing 3 buah botol dan langsung ditutup erat dengan menggunakan penutup alumunium foil dan karet, timbang 1 g kecambah Phaseolus radiatus sesuai dengan perlakuan masing-masing kelompok didalam kain kasa yang diikat kuat dengan benang. Gantungkan didalam botol dengan benang. Salah satu botol NaOH tanpa biji digunakan sebagai kontrol, beri label botol-botol tersebut dan tempatkan pada suhu 270C selama 2 jam, tentukan jumlah CO2 yang dikeluarkan selama respirasi dengan menggunkan metode titrasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN
a.   Pengaruh Suhu Terhadap Kecepatan Respirasi Aerobik
Tabel 1. Pengaruh Suhu Terhadap Kecepatan Repirasi pada kecambah Cucumis sativus

No
Perlakuan
Konsentrasi CO2
Laju Respirasi (mg CO2/g/h)
1
Kontrol
13,5
-
2
5 oC
15
0,088
3
25 oC
16
0,147
4
45 oC
13,5
0

 Dari hasil percobaan dapat dilihat pda tabel 1 bahwa kadar CO2 berbeda-beda pada setiap perlakuan suhu, demikian juga dengan laju respirasinya. Pada suhu 5°C diperoleh nilai kadar Co2 sebanyak 13,5 Ppm, kemudian pada suhu 25 °C diperoleh nilai kadar Co2 naik dari kadar Co2 sebelumnya yaitu sebanyak 16 Ppm, kemudian pada suhu maksimum yaitu pada suhu 45 °C diperoleh nilai kadar Co2 menurun hingga nilai kadar  Co2 sebanyak 13,5 Ppm. Hal ini membuktikan bahwa suhu berpengaruh terhadap laju respirasi kecambah. Laju respirasi yang paling cepat terjadi kecambah pada perlakuan suhu 25oC dan laju respirasi paling lambat terjadi pada kecambah yang diberikan perlakuan pada suhu 5°C. Hal ini dapat disebabkan karena suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan enzim yang bekerja pada saat respirasi terdenaturasi sehingga menyebabkan enzim rusak. Hal ini sesuai dengan Burhan (1997), yang menyatakan bahwa dengan kenaikan suhu penyimpanan sebesar 100C akan mengakibatkan naiknya laju respirasi sebesar 2 sampai 2.5 kali, tetapi di atas suhu 350C laju respirasi akan menurun karena aktivitas enzim terganggu yang menyebabkan terhambatnya difusi oksigen.
Pada percobaan diatas dapat dilihat pada bahwa pada setiap suhu laju respirasi pada tumbuhan berbeda-beda, dari suhu terendah didapat laju respirasi yang rendah dan pada suhu yang tinggi laju respirasi juga menurun. Laju respirasi yang paling cepat terjadi kecambah pada perlakuan suhu 25oC  dengan laju respirasi sebesar 0,147 mg CO2/g/h dan laju respirasi paling lambat terjadi pada kecambah yang diberikan perlakuan pada suhu 5°C dengan laju respirasi sebesar 0,088 CO2/g/h. Hal ini sesuia dengan pernyataan Dwijoseputro (1994), menyatakan bahwa laju respirasi dipengaruhi oleh suhu. Respirasi rendah akan terhenti pada suhu 0oC dan maksimal pada suhu 30 oC sampai 45oC. Respon respirasi terhadap suhu tidak sama pada jenis tanaman dan pada setiap tahap perkembangan tanaman. Pada tanaman tropis respirasi maksimal terjadi pada suhu 45oC, dan tanaman daerah sedang respirasi maksimal 30 oC.
Secara langsung laju respirasi jaringan dipengaruhi dua faktor lingkungan yaitu konsentrasi oksigen dan suhu. Menurut Kimball (1983), dalam proses ini terbentuk energi bebas (ATP dan NADH) yang diperlukan dalam sintesis sel dan senyawa-senyawa intermediet yang merupakan substrat bagi sintesis senyawa-senyawa lain (asam amino, lemak, protein dan lain-lain). Oleh karena itu laju respirasi dapat memberikan gambaran tentang tingkat kegiatan metabolisme jaringan itu. Laju respirasi ditetapkan dengan mengukur banyaknya CO2 yang terbentuk dan gas O2 yang diserap persatuan berat segar (kering) jaringan persatuan waktu.

b.  Penentuan Kecepatan Respirasi Biji Yang Sedang Berkecambah
Tabel 2 kecepatan respirasi biji Phaseolus radiatus dengan metoda titrasi
Umur Kecambah
Suhu (oC)
HCl yang terpakai (ml)
Kadar CO2
1
5
2,1
1,7

25
1,5
1,1

40
1,9
1,5
2
5
2
1,6

25
1,7
1,3

40
2
1,6
3*
5
1,8
1,4

25
1,9
1,5

40
2,1
1,7
4*
5
2
1,6

25
2,2
1,8

40
1,9
1,5
5*
5
1,8
1,4

25
1,9
1,5

40
2
1,6
 Keterangan * : percobaan galat
Dari tabel diatas didapat kadar CO2 yang bervariasi pada setiap umur kecambah Percobaan diatas dilakukan dengan mentitrasi larutan HCl yang digunakann  untuk mempengaruhi kecepatan respirasi pada kecambah perlakuan kontrol dengan HCl 0,4 ml dan indikator Pp sebanyak 3 tetes untuk semua percobaan . Kadar Co2  tertinggi  terdapat pada kecambah yang berumur 1 hari sebanyak 1,7 yaitu pada suhu 5oC dan kadar CO2  terendah  terdapat pada kecambah yang berumur 1 hari sebanyak 1,1, yaitu pada suhu 25oC. Pada kecambah Phaseolus radiatus kecambah  yang berumur 1 hari mempunyai kecepatan respirasi yang berbeda dengan kecambah yang berumur  2. Kadar CO2 pada hari pertama lebih tinggi yaitu pada suhu 5oC daripada kadar CO2 pada hari ke 2 pada suhu 5oC. Umur kecambah yang sama dengan suhu yang berbeda memberikan pengaruh yang besar terhadap kadar CO2. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dwidjoseputro (1985), bahwa suhu mempunyai pengaruh besar terhadap kegiatan respirasi. Pada suhu 0oC respirasi sangat sedikit pada suhu 300C-400C kegiatan respirasi sangat cepat, berhentinya kegiatan respirasi tersebut dapat disebabkan karena non aktifnya enzim. Enzim akan rusak pada suhu yang sangat tinggi tertimbunnya CO2, kurangnya oksigen juga dapat menghambat terjadinya respirasi yang berlangsung lambat.
            Data yang diperoleh pada percobaan 3 menunjukkan bahwa kadar CO2, yang paling tinggi diantara kadar CO2 pada umur kecambah 1,2,4 dan 5 hari. Hal ini dapat disebabkan karena ukuran kecambah yang berbeda dan kecambah yang digunakan juga berbeda. Pada percobaan 1, 2, 4, dan 5 kecambah yang digunakan yaitu kecambah Phaseolus radiatus sedangkan pada hari ke 3 kecambah yang digunakan yaitu kecambah Cucumus sativus sehingga menyebabkan kadar CO2 yang dihasilkan pada kecambah juga berbeda. Hal ini sesuai dengan Gardner (1991) yang menyatakan bahwa umur dan jenis tumbuhan yang digunakan mempengaruhi laju respirasi karena perbedaan morfologi antara berbagai jenis tumbuhan, maka akan terjadi pula perbedaan laju respirasi antara tumbuhan tersebut.
Dapat dilihat dari data pengamatan yang telah diperoleh bahwa umur dan jenis kecambah yang digunakan sangat mempengaruhi kadar C02 yang dihasilkan.  Tetapi data pada tabel 2, percobaan yang benar adalah percobaan pada kecambah yang berumur 1 dan 2 hari, sedangkan pada kecambah yang berumur 3,4 dan 5 hari percobaanya salah. Kesalahan yang dilakukan ketika praktikum oleh praktikan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi. Misalnya kesalahan

pada saat memberikan perlakuan, dapat dilihat pada tabel 2, sebenarnya perlakuan pada percobaan ke 3 yang diberikan salah karena kecambah yang digunakan adalah kecambah Cucumus sativus yang berumur 3 hari, hal ini dapat terjadi karena kurangnya komunikasi antara asisten dengan praktikan. Selain itu kesalahan dalam melakukan percobaan terjadi karena informasi yang diperoleh oleh praktikan hanya dari teman praktikan dan tidak memastikannya kembali kepada asisten sehingga kami salah dalam melakukan percobaan. Ketidaktelitian dalam melakukan titrasi juga merupakan kesalahan sehingga data yang diperoleh tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Pada percobaan ini, bahan yang digunakan adalah kecambah yang memiliki perbedaan umur yang signifikan, sehingga dapat mempengaruhi kecepatan respirasi dan kadar CO2 yang dihasilkan. Menurut Loveless (1991), semakin muda umur kecambah maka semakin cepat laju respirasi yang terjadi pada tumbuhan tersebut. Kecambah melakukan pernapasan untuk mendapatkan energi yang dilakukan dengan melibatkan gas oksigen (O2) sebagai bahan yang diserap atau diperlukan dan menghasilkan gas karbondioksida (CO2), air (H2O) dan sejumlah energi yang dihasilkan.



KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Dari praktikum yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa :
1.   Laju respirasi pada tumbuhan dipengaruhi oleh suhu. Laju respirasi yang paling cepat terjadi pada kecambah dengan perlakuan suhu 45oC 0 mg CO2/g/h dan laju respirasi paling lambat terjadi pada kecambah yang diberikan perlakuan pada suhu 5°C 0,088 mg CO2/g/h).
2.  Kadar Co2  tertinggi  terdapat pada kecambah yang berumur 1 hari sebanyak 1,7 yaitu pada suhu 5oC dan kadar CO2  terendah  terdapat pada kecambah yang berumur     1 hari sebanyak 1,1, yaitu pada suhu 25oC,
3.  Respirasi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu ketersediaan substrat, ketersediaan O2, jenis dan umur tanaman dan suhu.
4.   Semakin tinggi suhu yang diberikan, laju respirasi semakin tinggi sampai pada suhu maksimum dimana enzim dapat bekerja secara optimal yaitu 25 oC - 38 oC dan laju respirasi maksimal pada suhu 30 oC sampai 40 oC.









DAFTAR PUSTAKA


Burhan, W. 1997. Buku Ajar Fisiologi Tumbuhan. DEPDIKBUD UNAND. Padang

Darmawan dan Baharsjah. 1980. Pengantar Fisiologi Tumbuhan . PT Gramedia. Jakarta.

Dwdijoseputro, D. 1994. Dasar-Dasar Ilmu Tanaman. Gramedia. Jakarta.

Gardner, F. P. R. Brent pearce dan Goger L. Mitchell, 1991, Fisiologi Tanamanan Budidaya, Universitas Indonesia Press. Jakarta.


Loveless, A.R. 1991. Prinsip-Prinsip Biologi Tumbuhan UntukDaerah Tropik 1. Gramedia : Jakarta



Salisbury, J.W. dan Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 2.  ITB. Bandung

 
 


           











Jumin, H. B. 2002. Agro Ekologi: Suatu Pendekatan Fisiologis. Rajawali. Jakarta

Kimball, John. W. 1983. Biologi Jilid I Edisi kelima. Erlangga. Jakarta

Kumar, C. G. 2003. Arrowroot (Maranta arundinacea L.) Starch as a New Low Cost Substrat for Alkaline Protease Production. World Journal of Microbiology and Biotechnology. 19(7):757-762.
Lakitan, B. 2001. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. PT. Grafindo Persada. Jakarta

Lakitan,B. 2004. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. Raja Grafindo Persada : Jakarta

























Tidak ada komentar:

Posting Komentar