Senin, 23 Mei 2016

Faktor lingkungan



I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ekologi merupakan ilmu yang mempelajari interaksi antara organisme dengan lingkungannya (hubungan timbal balik). Kehidupan organisme yang ada pada wilayah atau habitat tertentu sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan abiotikmaupun biotik. Faktor lingkungan tersebut merupakan faktor yang berpengaruh terhadap organisme dalam proses perkembangannya. Apabila terjadi gangguan terhadap lingkungan maka secara langsung akan berdampak pada populasi dari organisme tersebut (Odum, 1971).
Dalam suatu ekosistem, organisme yang menyusun atau yang berada ditempat tersebut.  Kehidupan organisme yang ada pada wilayah atau habitat tertentu sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Kehidupannya sangat ditentukan oleh faktor–faktor lingkungannya biotik  dan lingkungan abiotik (Setiadi, 1989).
Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan antara komponen komponen tersebut terjadi pengambilan dan perpindahan energi, daur materi, dan produktivitas (Sativani, 2010).
Makhluk hidup tidak dapat lepas dari lingkungannya, baik itu biotik dan abiotik Pada interaksi antara kedua komponen tersebut, ekosistem akan selalu tumbuh berkembang sehingga menimbulkan perubahan ekosistem. Faktor lingkungan tersebut merupakan faktor yang  berpengaruh terhadap organisme dalam proses perkembangannya. Lingkungan yang baik akan menjamin keberlangsungan hidup suatu individu. Organisme tidak akan  mampu berdiri sendiri tanpa interaksi yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Lingkungan merupakan kompleks dari berbagai faktor yang saling berinteraksi satu sama lainnya, tidak hanya antara faktor biotik dan abiotik, akan tetapi antara biotik itu sendiri dan juga antara abiotik dengan abiotik (Campbell, Reece and Mitchel, 2004).     
            Faktor abiotik yang mempengaruhi lingkungan biotik merupakan komponen tak hidup berupa faktor fisika maupun faktor kimiawi yang merupakan medium atau substrat tempat berlangsungnya kehidupan atau lingkungan tempat hidup. Komponen abiotik dapat berupa faktor yang mempengaruhi distribusi organisme seperti suhu, air, cahaya, matahari, kelembaban udara, dan kecepatannya. Faktor tersebut terdapat pada lingkungan terestrial (daratan) (Soemarwoto, 1991).
Hal yang melatarbelakangi pelakanaan praktikum ini adalah kurangnya pemahaman dan pengetahuan praktikan tentang faktor lingkungan yang mempengaruhi lingkungan biotik dan abiotik. Untuk itu, dalam menunjang pemahaman dan pengetahuan faktor yang mempengaruhi lingkungan biotik dan abiotik , maka dilakukan praktikum dan sekaligus pengenalan alat-alat yang digunakan untuk mengukur dan menghitung faktor yang berpengaruh pada linkungangan biotik dan abiotik.

1.2    Tujuan
Tujuan dalam melaksanakan praktikum ini adalah untuk mengetahui serta memahami faktor lingkungan  dan alat yang digunakan untuk mengukur faktor lingkungan baik terrestrial maupun perairan.         

II. TINJAUAN PUSTAKA
Ekologi merupakan disiplin  ilmu yang mempelajari tentang hubungan timbal balik antara organisme dengan lingkungannya. Ekologi berhubungan erat dengan kondisi ekosistem dimana terdapat komponen biotik dan komponen abiotik, sehingga kehidupan organisme sangat ditentukan oleh faktor lingkungan. Faktor lingkungan antara ekosistem darat dan ekosistem  perairan berbeda, begitu pula pengaruh faktor lingkungan terhadap organisme terkait karena ada yang saling berinterkasi dan berjalan sendiri.   Secara umum, terdapat dua komponen yang mempengaruhi faktor lingkungan yaitu komponen abiotik dan biotik. Komponen biotik merupakan salah satu komponen atau faktor dalam lingkungan yang mempengaruhi organisme. Komponen abiotik adalah komponen lingkungan yang terdiri atas makhluk tak hidup atau segala sesuatu yang tidak bernyawa seperti tanah, udara, iklim, kelembaban, cahaya, dan bunyi. Faktor lingkungan abiotik terdiri dari 3 yaitu faktor lingkungan iklim, faktor lingkungan tanah dan faktor lingkungan perairan (Campbell et al , 2002).               
Lingkungan adalah suatu sistem yang kompleks yang terdiri dari sejumlah faktor lingkungan yang dapat dikategorikan menjadi 2 kelompok, yaitu lingkungan abiotik, seperti tanah/lahan, cahaya matahari, suhu udara, air, nutrien, hara, dan mineral; dan lingkungan biotik yaitu makhluk hidup di sekitarnya. Lingkungan adalah sistem kompleks yang dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup dan  merupakan ruang tiga dimensi, dimana makhluk hidupnya sendiri merupakan salah satu bagiannya. Lingkungan bersifat dinamis berubah setiap saat. Perubahan yang terjadi dari faktor lingkungan akan mempengaruhi makhluk hidup dan respon makhluk hidup terhadap faktor tersebut yang akan berbeda-beda menurut skala ruang dan waktu, serta kondisi makhluk hidup (Somarwoto, 2001).              
Faktor abiotik yang mempengaruhi lingkungan biotik merupakan komponen tak hidup berupa faktor fisika maupun faktor kimiawi yang merupakan medium atau substrat tempat berlangsungnya kehidupan atau lingkungan tempat hidup. Komponen abiotik dapat berupa faktor yang mempengaruhi distribusi organisme seperti suhu, air, cahaya, matahari, kelembaban udara, dan kecepatannya. Faktor tersebut terdapat pada lingkungan terestrial (daratan) (Soemarwoto, 1991). 
Faktor-faktor lingkungan akan mengendalikan laju berfungsinya berbagai proses hidup dalam suatu organisme. Kombinasi faktor yang menghasilkan keluaran maksimum dalam sebuah proses disebut optimum untuk proses itu. Setiap proses memiliki batas atas dan bawah toleransi untuk masing-masing faktor lingkungan. Jika setiap faktor keberadaannya kurang dalam sebuah lingkungan atau keberadaannya berlebihan, hewan atau tanaman yang bergantung padanya, tidak akan ada di dalam daerah tersebut. Faktor-faktor dapat digantikan keberadaannya oleh yang lain (Michael, 1990).
Faktor-faktor lingkungan dapat mempengaruhi suatu organisme secara sendiri-sendiri maupun kombinasi dari berbagai faktor. Pengaruhnya dapat menentukan kehadiran atau keberadaan dan proses kehidupan makhluk hidup. Terdapat berbagai prinsip yang mendasari hubungan makhluk hidup dengan lingkungannya, seperti makhluk hidup tidak dapat hidup pada lingkungan yang hampa udara dan juga seperti makhluk hidup bernapas dengan udara yang ada di lingkungan sekitarnya. Hal-hal yang dapat mempengaruhi makhluk hidup akan membentuk lingkungan. Faktor lingkungan terdiri dari faktor lingkungan abiotik dan lingkungan biotik. Setiap jenis, individu, kelompok atau umur makhluk hidup dipengaruhi atau membutuhkan faktor lingkungan yang berbeda-beda (McNaughton, 1990).                                               
Komponen-komponen lingkungan terdiri dari faktor-faktor lingkungan fisiko-kimiawi dan biologi. Terdapat macam-macam faktor lingkungan, seperti faktor iklim, geografis dan edafis (lingkungan abiotik) dan faktor tumbuhan, hewan, dekomposer, dan manusia sebagai lingkungan biotik. Berkaitan dengan sifat-sifat toleransi dan adaptasi makhluk hidup terhadap lingkungannya, terdapat beragam jenis, sifat, keanekaragaman, kelimpahan, dan pola sebaran makhluk hidup (Syafe’I, 1990). 
Pembagian komponen lingkungan ini seperti, faktor iklim,meliputi parameter iklim utama seperti cahaya, suhu, ketersediaan air dan angin. Faktor tanah merupakan  karakteristik  dari tanah seperti nutrisi tanah, reaksi tanah, kadar air tanah dan kondisi fisika tanah. Faktor topografi yaitu meliputi  pengaruh dari terrain (bentuk vertikal dan horizontal dari suatu daratan) seperti sudut kemiringan, aspek kemiringan dan ketinggian tempat dari permukaan laut (Heddy, 1994).          
Faktor lingkungan abiotik merupakan semua aspek kimia dan fisika dari lingkungan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan distribusi hewan dan tumbuhan. Udara dan tanah adalah faktor abiotik yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan organisme-organisme teresterial. Selain pengukuran pada kondisi fisika kimia sebagai faktor lingkungan habitatnya, kehadiran tumbuhan dapat mempengaruhi kondisi udara dan tanah. Mikroklimat merupakan kondisi udara yang berpengaruh dan berhubungan langsung dengan tumbuhan. Walaupun hanya dalam daerah yang sangat kecil, mikroklimat dapat menyebabkan adanya variasi dalam tipe dan komposisi tumbuhan. Komponen mikroklimat tersebut antara lain temperatur udara (suhu), kelembaban udara, intensitas cahaya dan kecepatan angin. Suhu berpengaruh terhadap ekosistem karena suhu merupakan syarat yang diperlukan organisme untuk hidup. Pada beberapa jenis organisme, yang ada yang hanya dapat hidup pada kisaran suhu tertentu. Suhu lingkungan merupakan faktor penting dalam ekosistem karena pengaruhnya pada proses fisiologis organisme penghuni ekosistem (Odum, 1971).
Kelembaban udara merupakan sejumlah uap air yang terkandung diudara atau atmosfer, biasanya dinyatakan dalam berat uap air untuk setiap volume udara tertentu. Setiap suhu tertentu ditempat yang sama akan memberikan harga kelembaban tertentu disebut kelembaban absolut. Alat yang digunakan untuk menentukan kelembaban relatif adalah sling psychrometer (Setiadi, 1989).                                                    
Menurut Arsyad (2010), selain pengukuran pada kondisi udara, faktor lingkungan lain yang juga dapat diukur dan memberikan pengaruh terhadap ekosistem adalah tanah. Tanah merupakan sebuah badan yang terbentuk dari hasil pelapukan batuan akibat aktivitas iklim dan organisme serta materi organik hasil proses dekomposisi yang mampu mendukung kehidupan.
Tanah merupakan tempat hidup organisme. Jenis tanah yang berbeda menyebabkan organisme yang hidup di dalamnya juga berbeda. Tanah juga menyediakan unsur-unsur penting bagi pertumbuhan organisme. Struktur fisik, pH, komposisi mineral didalam tanah akan membatasi persebaran tumbuhan  dan hewan yang memakannya, sehingga menjadi salah satu penyebab timbulnya pola mengelompok pada area tertentu yang acak pada ekosistem terestrial (Campbell et al., 2004).
Pada ekosistem terestrial, tanah merupakan faktor lingkungan yang amat penting. Tanah merupakan substrat alami bagi tumbuhan, habitat bagi detrivora dan mikroba yang didalamnya terdapat mineral dan zat organik terkumpul. Akan tetapi, hal tersebut tidak bisa dimanfaatkan bila kondisi fisika-kimia tanah di luar toleransi organisme yang ada di dalamnya atau di atasnya. Faktor fisika-kimia tanah mempengaruhi sebaran organisme tanah baik secara vertikal (hewan tanah dan mikroba), maupun horizontal (vegetasi). Oleh karenanya dalam analisis ekosistem terestrial perlu untuk mengumpulkan data fisika-kimia tanah. Beberapa pengukuran yang dapat dilakukan dalam pengukuran fisika-kimia tanah diantaranya adalah suhu tanah, pH tanah, tekstur tanah, profil tanah, porositas, kelembaban tanah, dan lain-lain (Setiadi, 1989).
Ekologi estuarin merupakan daerah atau lingkungan yang merupakan campuran antara air sungai dan air laut, sehingga mengakibatkan daerah estuarin ini mempunyai air yang bersalinitas lebih rendah daripada lautan terbuka. Sebagian besar jenis flora dan fauna yang hidup didaerah estuarin tersebut adalah organisme yang telah beradaptasi dengan kondisi yang terbatas didaerah tersebut. Oleh karena itu, umumnya daerah ini dikatakan bahwa estuarin relative hanya dapat dihuni oleh bebrapa spesies saja. Pada daerah estuarin ini selain dari turun naiknya salinitas yang disebabkan oleh air pasang juga terjadi penurusan salinitas yang bertahap ketika air dari mulut estuarin (muara sungai) bergerak ke arah sumber mata air ( hulu sungai) sehingga terdapat wilayah dari flora dan fauna yang hidup di daerah ini (Somarwoto, 2001).          
Perubahan salinitas musiman didaerah estuaria diakibatkan karena perubahan penguapan atau perubahan aliran air tawar musiman. Didaerah dimana debit air tawar atau kering dalam setengah waktu dalam setahun salinitas tinggi akan bergeser ke hulu. Dengan mulainya kenaikan air tawar gradient salinitas bergeser kehilir ke arah mulut estuaria. Oleh karena itu, pada berbagai musim suatu titik tertentu diestuaria dapat mengalami salinitas yang berbeda-beda. Suhu air yang ada diestuaria lebih bervariasi dari pada di perairan pantai didekatnya. Hal ini sebagian karena biasanya diestuaria volume air lebih kecil sedangkan luas permukaan lebih besar, dengan demikian pada kondisi atmosfer yang ada air estuaria ini mudah cepat panas dan lebih cepat dingin. Selain itu juga masukan air tawar. Air tawar di sungai atau dikali lebih dipengaruhi oleh perubahan suhu musiman dari pada air laut. Sungai di daerah beriklim sedang suhunya lebih rendah dimusim dingin dan lebih tinggi dimusim panas dari pada suhu ar laut didekatnya (Heddy, 1994)

III. PELAKSANAAN PRAKTIKUM
3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum mengenai faktor-faktor Lingkungan telah dilakukan pada hari Kamis, 26 Februari 2015 pukul 13.00 WIB bertempat di Laboratorium Pendidikan IV, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas, Padang.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada praktikum  adalah anemometer, soil moisture meter, termometer, pH meter, lux meter, pengukur curah hujan sederhana, sling psyhcrometer, keping secchi, salinometer, surber net, Ekman Dredge, plankton net  dan alat pengukur lainnya yang biasa digunakan untuk mengetahui faktor lingkungan tanah dan faktor lingkungan air.
3.3 Cara kerja
Adapun cara kerja yang dilakukan pada saat melakukan praktikum tersebut adalah dengan memperkenalkan berbagai macam alat ukur serta mempraktekkan penggunaan dari alat-alat yang dipergunakan pada pengukuran faktor-faktor lingkungan.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Faktor Iklim
4.1.1 Suhu Udara
Suhu sangat berpengaruh terhadap ekosistem karena suhu merupakan syarat yang diperlukan organisme untuk hidup. Hal ini disebabkan karena reaksi kimia dalam tubuh organisme dipengaruhi oleh kualitas suhu lingkungan. Pada umumnya organisme senang hidup di tempat yang suhunya antara 00-400C sebab pada suhu di atas hanya mahkluk hidup tertentu saja yang dapat hidup dibawah 00C atau diatas 400C. Tumbuhan dan hewan sangat bergantung pada suhu. Tumbuhan dan hewan memiliki perbedaan adaptasi terhadap keadaan suhu. Ada tumbuhan dan hewan yang menyukai habitat yang panas dan ada tumbuhan dan hewan yang menyukai habitat yang dingin. Pada tumbuhan semakin tinggi suhu, maka akan mepercepat proses kehilangan air dari tanaman.
Suhu merupakan faktor pembatas bagi organisme.  Toleransi organisme terhadap suhu  bervariasi tergantung dari jenis dan fase hidupnya. Suhu tersebut dapat mempengaruhi  aktivitas dan pertumbuahn dan fungsi fisiologis lainnya. Suhu berpengaruh terhadap ekosistem karena suhu merupakan syarat yang diperlukan organisme untuk hidup. Pada beberapa jenis organisme, yang ada yang hanya dapat hidup pada kisaran suhu tertentu. Suhu lingkungan merupakan faktor penting dalam ekosistem karena pengaruhnya pada proses fisiologis organisme penghuni ekosistem (Odum, 1971).
Alat yang digunakan untuk mengukur suhu udara disebut  termometer. Termometer pengukur suhu udara ini terdiri dari termometer air raksa atau alkohol, termometer minimum dan termometer maksimum. Termometer maksimum dan minimum digunakan untuk mengetahui suhu udara dalam rentang waktu tertentu. Termometer maksimum dan minimum ini terdiri dari tabung yang berbentuk huruf U yang berisi air raksa yang mempunyai penanda pada bagian ujungnya. Sebelum termometer ini digunakan tanda tersebut harus diturunkan dengan sebuah magnit sehingga tepat berada diatas air raksa . Bila suhu udara naik atau turun maka air raksa juga akan bergerak salah asatu ujung air raksa menunjukkan suhu minimum dan satu ujung lagi menunjukkan suhu maksmum pada selang waktu tertentu (Lakitan, 1997).








Gambar 1. . Termometer maksimum dan minimum
 
 







4.1.2 Kelembaban Udara
Kelembaban udara ini sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup suatu organisme. Pada tumbuhan  kelembaban udara ini sangat berpengaruh terhadap evapotranspirasi (penguapan air). Evapotranspirasi yang terjadi pada makhluk hidup memiliki pengaruh terhadap kesediaan air dalam tubuh makhluk hidup.Ketersediaan air dalam tubuh makhluk hidup ini tentu memberikan pengaruh yang begitu besar terhadap proses metabolisme tubuh.
Alat untuk mengukur kelembaban udara adalah relatife  sling psychometer atau hygrometer. Alat ini mempunyai dua termometer yang satu untuk mengukur suhu udara kering (termometer kering) dan termometer satu lagi digunakan untuk mengukur suhu udara jenuh (termometer basah). Pada bagian bawah termometer diselimuti dengan kapas yang dilembabkan Sling psychrometer dilengkapi dengan tabel taylor.  Dalam penggunaan sling psychrometer dilakukan pengisapan dan pada psykometer dan dilakukan pemutaran air yang ada pada kapas yang telah dilembabkan sehingga udara dekat reservoir termometer digunakan uantuk menaksir kelembaban udara relatife. Kelembaban udara relatife ini berdasarkan suhu udara kering dan suhu udara yang terdapat pada tabel yang tersedia pada alat ini. 
Sling psyhcrometer terdiri dari dua pengukuran skala kelembaban, yaitu skala atas dan skala bawah. Skala atas menunjukkan bahwa udara kering dan skala bawah menunjukkan udara basah atau lembab. Skala bawah biasanya dibalut dengan kapas yang basahi terlebih dahulu, selanjutnya putar sling selama 3 menit atau 10 kali kekanan dan kekiri. Kemudian baca skala yang terbaca dan cocokkan dengan tabel pada buku panduan dan bandingkan skala tersebut dengan nilai relatif. Semakin kecil nilai yang didapat maka semakin kering kelembaban udara pada suatu tempat. Menurut Irshady (2011), udara yang lembab memiliki nilai perbandingan relatif yang rendah. Alat ini merupakan metode konvensional yang digunakan untuk mengukur kelembaban udara. Kelembaban udara sangat berpengaruh untuk organisme teresterial atau daratan karena dapat meningkatkan atau mengurangi angka kelahiran.
Alat ini menggunakan 2 termometer dimana termometer pertama untuk mengukur suhu udara biasa dan kedua untuk mengukur suhu udara jenuh karena bagian bawah tersebut dilengkapi kain basah. Berdasarkan bacaan dari kedua termometer, nilai kelembaban relatif dapat ditentukan dengan menggunakan tabel konversi tertentu. Selain sling psychometer kelembaban juga dapat diukur dengan hygrocheck hanna HI 98601 yang dilengkapi sensor sehingga penggunaan relatif lebih mudah (Hanum, 2009).







Gambar 2. Sling psyhcrometer
 
 


4.1.3 Curah Hujan
Air berpengaruh terhadap ekosistem  termasuk makhluk hidup di dalamnya karena air dibutuhkan untuk kelangsungan hidup organisme. Hampir semua makhluk hidup membutuhkan air. Karena itu, air merupakan komponen yang sangat vital bagi kehidupan. Sebagian besar tubuh makhluk hidup tersusun oleh air dan tidak ada satupun makhluk hidup yang tidak membutuhkan air. Air sangat diperlukan oleh tumbuhan dan hewan untuk proses perkembangan dan metabolisme. Ketersediaan air di permukaan bumi menentukan jenis vegetasi. Semakin sedikit air, maka akan semakin banyak tumbuhan berjenis xeromorf (tumbuhan dengan sifat menghambat air), sedangkan untuk daerah yang mempunyai kecukupan air akan memiliki tumbuhan berjenis mesofita (tumbuhan yang membutuhkan kecukupan air). Air yang ada di permukaan bumi berasal dari hujan. Sebaran curah hujan di setiap tempat berbeda-beda. Hujan sepanjang tahun hanya terdapat di beberapa bagian tempat tropis. Semakin jauh dari khatulistiwa, maka curah hujan semakin berkurang. Curah hujan yang cukup akan memberikan dampak yang positif bagi kelngsungan hidup suatu organisme.
Curah hujan dapat diukur dengan alat ukur curah hujan yang disebut dengan . evaporimeter piche yang terdiri dari 2 bejana penampung air dan corong yang telah diketahui luasnya. Alat ini biasanya dipasang dilapangan atau daerah terbuka sehingag air hujan langsung dapat jatuh kecorong dan masuk kedalam bejana penampung. Evaporimeter piche bentuknya seperti panci terbuka atau tabung gelas berskala yang diisi air dan ditutup oleh kertas saring  dengan posisi terbalik. Cara penggunaan evaporimeter piche yaitu ujung bawah pipa gelas terbuka ditutupi dengan kertas filter/saring berbentuk bulat dengan posisi terbalik kemudian air akan menguap keatas dan ditangkap oleh kertas saring.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Odum (1971) yang menyatakan bahwa Corong curah hujan merupakan alat pengukuran untuk curah hujan yang sederhana. Alat ini terdiri dari 2 komponen yaitu bejana penampung air hujan dan corong atau cerocok. Cara meletakkan bejana hendaknya didalam lubang agar tidak terganggu oleh organisme lain. Corong curah hujan adalah metode sederhana untuk mengukur curah hujan. Terdiri dari bejana dan corong yang berbentuk seperti cerocok. Penampung air hujan diletakkan terbenam kedalam tanah agar mengurangi penguapan dan tidak terganggu oleh organisme lain.



Description: 1898033_10201637531761473_1322001376_n.jpg
 
           




Gambar 3. Evaporimeter piche
 
 





4.1.4  Intensitas Cahaya
Cahaya matahari merupakan sumber utama energi bagi kehidupan, tanpa adanya cahaya matahari kehidupan tidak akan ada. Bagi pertumbuhan tanaman ternyata pengaruh cahaya selain ditentukan oleh kualitasnya. Intensitas cahaya adalah banyaknya energi yang diterima oleh suatu tanaman per satuan luas dan per satuan waktu (kal/cm2/hari).  Cahaya matahari berpengaruh nyata terhadap sifat morfologi tanaman. Hal ini dikarenakan intensitas cahaya matahari dibutuhkan untuk berlangsungnya penyatuan CO2 dan air untuk membentuk karbohidrat. Begitupun dengan hewan, fiksasi energi melalui fotosintesis tumbuhan hijau sangat diperlukan bagi hewan herbivora karena kehidupannya sangat bergantung pada tumbuh-tumbuhan
            Salah satu alat yang digunakan untuk mengukur intensitas cahaya dalam satuan lux adalah lux meter. Pengukuran intensitas penerangan ini memakai alat lux meter yang hasilnya dapat langsung dibaca. Alat ini terdiri dari dua komponen, yaitu sensor cahaya dan skala pengukuran. Alat ini memiliki tombol on-off, kemudian kalibrasikan nilai yang tertera pada layar sensor cahaya pada skala normal atau nol. Data pada daerah yang akan diukur, selanjutnya bandingkan dengan intensitas cahaya pada daerah yang ternaungi, agar terlihat perbandingan data intensitas cahaya. Menurut Irshady (2011) lux meter merupakan alat yang digunakan untuk mengukur intensitas cahaya, kelebihan alat ini adalah mampu mengkalibrasikan nilai sampai dengan kelipatan 4, alat ini cukup efektif digunakan untuk pengamatan intensitas cahaya. Cahaya sangat penting untuk kehidupan organisme di lingkungan terestrial dan menjadi faktor utama dari lingkungan tersebut.








Gambar 4. Lux meter.
 
 








4.1.5 Kecepatan Angin
Angin berperan dalam menentukan kelangsungan hidup suatu organism. Angin akan mempengaruhi cara hidup organism. Organisme akan beradaptasi atau meyesuaikan diri dengan kondisi angin (lingkungan). Angin mempunyai arah dan kecepatan yang ditentukan oleh adanya perbedaan tekanan udara permukaan bumi. Angin bertiup dari tempat bertekanan tinggi ke tempat bertekanan rendah dan tegak lurus atas garis isobar. Semakin besar perbedaan tekanan udara semakin besar kecepatan angin. Dan semakin besar kecepatan angin maka akan berdampak buruk pada kelangsungan hidup suatu organisme.  Pada tumbuhan angin mempunyai pengaruh langsung terhadap vegetasi, terutama dalam menumbangkan pohon-pohon atau dengan mematahkan dahan-dahan atau bagian lainnya. Angin mempunyai pengaruh yang sama terhadap tanah, biasanya bersifat mengeringkan, atau membawa udara yang lebih basah yang menurunkan transpirasi dan evaporasi, dan menyebabkan turunnya hujan.
Alat yang dugunakan untuk mengukur kecepatan angin disebut dengan Anemometer. curah Alat ini berbentuk seperti kipas angin memiliki baling-baling sebagai pengukur kecepatan angin yang berhembus pada lingkungan sekitar. Alat ini memiliki layar skala kecepatan. Untuk ke akuratan data lakukan pengulangan pada pengujian data sebanyak tiga kali. Skala 2 m/s menunjukkan data bahwa pada disuatu daerah atau lingkungan tersebut memiliki angin yang kuat. Menurut Irshady (2011), angin yang kuat berkisar antara 2-3 m/s. Hal ini dapat dibuktikan dengan kecepatan baling-baling anemometer berputar dalam jangka 30 detik. Alat ini biasanya diletakkan dalam keadaan tergantung.








Gambar 5. Anemometer
 
 









4.2 Faktor Lingkungan Terestrial
4.2.1 Suhu Tanah
Suhu sangat mempengaruhi lingkungan dan kehidupan makhluk hidup di lingkungan tersebut. Ada makhluk hidup yang dapat hidup pada suhu rendah, ada pula makhluk hidup yang dapat hidup pada suhu tinggi. Tanah berfungsi sebagai tempat hidup berbagai makhluk hidup dalam suatu ekosistem. Di dalam tanah terdapat zat hara yang merupakan mineral penting yang dibutuhkan oleh makhluk hidup terutama tumbuhan. Antara komponen abiotik dengan komponen biotik terjadi saling ketergantungan. Tumbuhan selain membutuhkan udara untuk bernafas juga membutuhkan cahaya matahari untuk  berfotosintesis. Begitu juga manusia dan hewan lainnya membutuhkan udara, air, tanah, lingkungan untuk hidupnya (Odum, 1971).
Alat yang digunakan untuk mengukur suhu tanah yaitu Soil Termometer. Pada prinsipnya cara menggunakan alat ini hamper sama dengan  termometer biasa yaitu dengan cara ditancapkan kedalam tanah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hanum (2009), yang menyatakan bahwa Soil Termometer pada prinsipnya hampir sama dengan termometer biasa, hanya bentuk dan panjangnya berbeda. Pengukuran suhu tanah lebih teliti daripada suhu udara. Perubahannya lambat sesuai dengan sifat kerapatan tanah yang lebih besar daripada udara. Suhu tanah yang diukur umumnya pada kedalaman 3,5 cm, 6 cm,dan  10 cm. Macam alat disesuaikan dengan kedalaman yang akan diukur. Termometer berada dalam tabung gelas yang berisi parafin, kemudian tabung diikat dengan rantai lalu diturunkan dalam selongsong tabung logam ke dalam tanah. Pembacaan dilakukan dengan mengangkat termometer dari dalam tabung logam, kemudian dibaca. Adanya parafin memperlambat perubahan suhu ketika termometer terbaca di udara.
   Menurut Handayanto dan  Hiriah  (2009), untuk mengukur suhu tanah dipergunakan alat weksler. Termometer pada alat ini disimpan dalam tabung kayu yang ujungnya berupa logam meruncing. Antara logam dengan termometer terdapat serbuk logam yang menutupi ujung termometer dan terdapat pada bagian atas logam meruncing tadi. Panas dari tanah akan mempengaruhi logam dan kemudian akan diinduksikan ke serbuk logam.
Pengukuran temperatur dapat dilakukan secara kuantitaif dan kualitatif. Pengukuran kauntitatif dinyatakan dalam satuan kalori, yaitu gram kalori atau kilogram kalori sedangkan pengukuran kualitatif dinyatak dalam derajat celcius, fahrenheit, reamur, atau kelvin. Pengukuran bisa dilakukan dengan termometer. Prinsip kerjanya berdasarkan pemuaian dan penerutan suatu zat padat atau cair akibat pemanasan dan pendinginan (Wirakusumah, 2003).








Gambar 6. Soil Termometer
 
 








4.2.2 Kelembapan Tanah
Keberadaan suatu ekosistem juga dipengaruhi oleh kondisi tanah. Tanah merupakan tempat hidup bagi organisme terutama tumbuhan. Adanya tumbuhan akan menjadikan suatu daerah memiliki berbagai organisme pemakan tumbuhan dan organisme lain yang memakan pemakan tumbuhan tersebut, artinya kelembapan tanah sangat mempengaruhi kelangsungan hidup organisme dalam suatu ekosistem. Jenis tanah yang berbeda menyebabkan organisme yang hidup didalamnya juga berbeda. Tanah juga menyediakan unsur-unsur penting bagi pertumbuhan organisme, terutama tumbuhan. Manusia dapat memanfaatkan tanah lebih besar dibandingkan dengan organism lain, namun perlakuan manusia yan berlebihan pada tanah dapat menyebabkan hilangnya kesuburan tanah dan tanah menjadi gersang.
Alat yang digunakan untuk mengukur kelembapan tanah disebut termometer tanah disebut dengan Soil moisture meter. Soil moisture meter merupakan termometer yang dirancang secara khusus untuk mengukur kelembapan didalam tanah. Ciri-ciri pada termometer tanah ini yaitu pada bagian skala dilengkungkan namun ada juga yang tidak dilengkungkan. Hal ini dibuat untuk memudahkan dalam pembacaan termometer. Pemakaiannya adalah menancapkan ujung alat ke tanah yang ingin diukur, kemudian tekan tombol dengan lama untuk mengukur pH tanah dan dengan tidak menekan tombol untuk mengukur kelembapan tanah. Liat penunjuk pada soil tester. Nilai yang di atas menunjukkan nilai pH tanah 1-14 dan nilai yang di bawah menunjukkan nilai kelembapan tanah (Hanum (2009).








Gambar 7. Soil moisture meter
 
 








4.2.3 pH Tanah
Tanah merupakan tempat hidup organisme. Jenis tanah yang berbeda menyebabkan organisme yang hidup didalamnya juga berbeda. Tanah juga menyediakan unsur-unsur penting bagi pertumbuhan organisme. Struktur fisik, pH, komposisi mineral didalam tanah akan membatasi persebaran tumbuhan  dan hewan yang memakannya, sehingga menjadi salah satu penyebab timbulnya pola mengelompok pada area tertentu yang acak pada ekosistem terestrial (Campbell et al., 2004).
Pada ekosistem teresterial, tanah merupakan faktor lingkungan yang amat penting. Tanah merupakan substrat alami bagi tumbuhan, habitat bagi detrivora dan mikroba. Didalamnya mineral dan zat organik terkumpul.Akan tetapi, hal tersebut tidak bisa dimanfaatkan bila kondisi fisika-kimia tanah diluar toleransi organisme yang ada didalamnya atau diatasnya. Faktor fisika-kimia tanah mempengaruhi sebaran organisme tanah baik secara vertikal (hewan tanah dan mikroba), maupun horizontal (vegetasi). Oleh karenanya dalam analisis ekosistem terestrial perlu untuk mengumpulkan data fisika-kimia tanah. Beberapa pengukuran yang dapat dilakukan dalam pengukuran fisika-kimia tanah diantaranya adalah suhu tanah, pH tanah, tekstur tanah, profil tanah, porositas, kelembaban tanah, dan lain-lain (Setiadi, 1989).
Alat yang digunakan untuk mengukur pH tanah dapat menggunakan soil tester atau kertas lakmus dan dapat juga digunakan alat pH meter. Jika menggunakan kertas lakmus apa bila nilai nya di bawah 7 maka kadar asam nya tinggi, dan apabia diatas 7 maka kadar basanya yang tinggi, sedangkan 7 itu pH normal. pH tanah adalah faktor kimia tanah penting yang menggambarkan sifat asam atau basa tanah. Nilai pH tanah adalah nilai aktif logaritma dari aktifitas ion hidrogen tanah. Besarnya nilai pH tanah dipengaruhi oleh banyaknya faktor diantaranya jenis batuan induk, tipe vegetasi dan aktivitas pemupukan. Ph tanah menetukan ketersediaan unsur-unsur hara bagi tumbuhan. Pengukuran pH tanah bisa dilakukan dengan pH-meter elektronik, soil tester dan kertas pH universal Pada prinsipnya pengukuran suatu pH adalah didasarkan pada potensial elektro kimia yang terjadi antara larutan yang terdapat di dalam elektroda gelas yang telah diketahui dengan larutan yang terdapat di luar elektroda gelas yang tidak diketahui. Hal ini dikarenakan lapisan tipis dari gelembung kaca akan berinteraksi dengan ion hidrogen yang ukurannya relatif kecil dan aktif. Elektroda gelas tersebut akan mengukur potensial elektrokimia dari ion hidrogen atau diistilahkan dengan potential of hydrogen (Hanum, 2009).
Alat pengukur pH yang lebih modern dan konvensional. Biasanya untuk pengukuran sampel tanah harus dihomogenkan terlebih dahulu dengan air, selanjutnya itu celupkan pH yang tertera pada layar. Odum (1971) menyatakan bahwa pH suatu sampel asam memiliki nilai dibawah 7, sedangkan pH diatas 7 merupakan pH basa. pH meter sangat efektif untuk mengukur pH kelayakan pada alat. Semakin tinggi pH suatu tanah maka akan menyebabkan organisme yang berada ditanah atau mencari makan didalam tanah akan memberikan pengaruh yang beruk untuk organisme unutuk tumbuhan dan hewan tersebut.
pH meter merupakan suatu satuan ukur yang menguraikan derajat tingkat kadar keasaman atau kadar alkali dari suatu larutan. Unit pH diukur pada skala 0 sampai 14. Pada prinsipnya pengukuran suatu pH adalah didasarkan pada  potensial elektro kimia yang terjadi antara larutan yang terdapat didalam elektroda gelas (membrane gelas) yang telah diketahui dengan larutan yang terdapat diluar elektroda gelas yang tidak diketahui. Hal ini dikarenakan lapisan tipis dari gelembung kaca akan berinteraksi dengan ion hidrogen yang ukurannya relatife kecil dan aktif, elektroda gelas tersebut akan mengukur potensial elektrokimia dari ion hidrogen. Alat ini tidak mengukur arus tetapi hanya mengukur tegangan. Cara menggunakan alat ini yaitu sebelum pH meter digunakan, pH meter harus dikalibrasi terlebih dahulu dengan menggunkan standar pH atau sering disebut buffer pH. Standar pH adalah larutan yang nilai pH-nya telah diketahui pada setiap perubahan suhu. Standar pH merupakan larutan buffer pH (penyangga pH) dimana nilainya relative konstan dan tidak mudah berubah (Lakitan,1997).


 










4.3 Faktor Lingkungan Perairan
4.3.1 Pengambilan sampel plankton
Plankton merupakan indikator yang mudah untuk memantau terjadinya pencemaran. Pengambilan sampel dapat dilakukan dengan dengan cara sampling horizontal dan sampling vertical, miring dan dengan menggunakan timba.  Alat yang digunakan untuk pengambilan sampel plankton adalah plankton net . Pada pengambilan sampling secara vertikal, plankton net diletakkan sampai ke dasar perairan, kemudian menariknya ke atas, kedalaman perairan sama dengan panjang tali yang terendam dalam air sebelum digunakan untuk menarik plankton ke atas. Kedalaman perairan sama dengan panjang tali yang terendam dalam air sebelum digunakan untuk menarik plankton net ke atas.  Volume air tersaring adalah kedalaman air dikalikan dengan diameter mulut plankton net. Plankton Net untuk phytoplankton berukuran diameter 31 cm dengan mata jaring berukuran 30 – 60 mikron. Plankton Net untuk zooplankton berukuran diameter 45 cm dengan mata jaring berukuran 150 – 500 mikron. Plankton Net untuk ikhtyoplankton berukuran diamater 55 cm (Lakitan, 1997).
Metoda pengambilan plankton secara horizontal ini dimaksudkan untuk mengetahui sebaran plankton horizontal. Plankton net pada suatu titik di laut, ditarik kapal menuju ke titik lain. Jumlah air tersaring diperoleh dari angka pada flowmeter atau dengan mengalikan jarak diantara dua titik tersebut dengan diameter plankton net.  Flowmeter untuk peningkatan ketelitian. Metoda pengambilan plankton dapat juga dilkukan dengan menggunakn timba. Metoda ini dapt dilkuakn dengan cara memasukkan timba kedalam air temapt dimana sampel plankton akn diambil. Setelah timbadimasukkan kemudaian angkat timba secara vertikal akar tidak tumpah sampling secara miring yaiu dengan cara jaring diturunkan perlahan ketika kapal bergerak perlahan (±2 knot). Besar sudut kawat dengan garis vertikal ± 45˚, setelah mencapai kedalaman yang diinginkan plankton net ditarik secara perlahan dengan posisi sudut yang sama. Sampel yang didapat merupakan plankton yang terperangkap dari berbagai lapisan air. Kelemahan metode ini adalah waktu yang dibutuhkan relatif lama (Resosoedarmo, Kuswara, dan Aprilani. 1992).


 








4.3.1 Pengambilan sampel Bentos
Bentos merupakan binatang dan tumbuhan yang hidup pada dasar perairan. Berbagai jenis bentos ada yang berperan sebagai konsumen primer dan ada pula yang berperan sebagai konsumen sekunder atau konsumen yang menempati tempat yang lebih tinggi. Pada umumnya, bentos merupakan makanan alami bagi ikan-ikan pemakan di dasar. Alat yang digunakan untuk mengambil sampel bentos yaitu Ekman Grab dan surber net.
a. Ekman Grab
Ekman Grab merupakan alat yang  untuk mengambil sampel bentos didasar perairan atau digunakan  untuk mengambil sampel pada sedimen yang lunak Pengambilan sampel sedimen dengan alat ini dapat dilakukan oleh satu orang dengan cara menurunkannya secara perlahan dari atas boat agar supaya posisi grab tetap berdiri sewaktu sampai pada permukaan dasar perairan. Pada saat penurunan alat, arah dan kecepatan arus harus diperhitungkan supaya alat tetap konstan pada posisi titik sampling (Hanum, 2009).
Ekman Grab merupakan salah satu grab sampler yang berfungsi untuk mengambil sedimen permukaan yang ketebalannya tergantung dari tinggi dan dalamnya grab masuk kedalam lapisan sedimen. Alat ini biasa digunakan untuk mengambil sampel sedimen pada perairan dangkal maupun perairan dalam. Berdasarkan ukurannya, ada dua jenis grab sampler yaitu grab sampler berukuran kecil dan besar. Sedimen grab yang berukuran kecil dapat digunakan dan dioperasionalkan dengan mudah, hanya dengan menaik turunkan alat ini dengan menggunakan tangan. Pengambilan sampel sedimen dengan alat ini dapat dilakukan oleh satu orang dengan cara menrunkannya secara perlahan dari atas boat agar supaya posisi grab tetap berdiri sewaktu sampai pada permukaan dasar perairan. Pada saat penurunan alat, arah dan kecepatan arus harus diperhitungkan supaya alat tetap konstant pada posisi titik sampling. Sedangkan sedimen grab yang berukuran besar memerlukan peralatan tambahan lainnya seperti winch yang sudah terpasang pada boat/kapal survey berukuran besar. Alat ini menggunakan satu atau dua rahang/jepitan untuk menyekop sedimen. Grab diturunkan dengan posisi rahang/jepitan terbuka sampai mencapai dasar perairan dan sewaktu diangkat keatas rahang ini tertutup dan sample sedimen akan terambil (Odum, 1971).
Gambar 10. Ekman Dredge
 
http://www.rickly.com/devwww/as/images/PETITEPO.JPG
b. Surber Net
Surber Net  merupakan alat yang digunkan ntuk mengambil sampel bentos didasar perairan  yang berarus atau berbatu. Cara kerja dari alat ini yaitu jala Surber Net tersebut diletakkan dengan bagian mulut jala melawan arus aliran air, dan daerah yang dibatasi oleh alat ini dibersihkan sehingga jika ada bentos yang melekat pada jala Surber Net tersebut akan mudah tertangkap oleh jala. Fungsi alat yang berukuran 30cm x 430cm ini merupakan alat untuk mengambil sampel benthos pada daerah yang berarus air kuat dan dasar perairan berpasir halus  dan sedikit berlumpur (Hanum, 2009).
            Menurut Lakitan (1997) Surber Net digunakan untuk analisis kuantitatif dari organisme bentik dan aliran dapat digunakan di sungai yang dangkal kurang dari 18 meter dengan berbagai dasar dan dari lumpur ke kasar besar. Jala yang terdiri dari 12 cm x 12 cm diletakkan dialiran bawah ke perbatasan area sampling dan digunakan untuk membangkitkan sedimen bawah dan invertebrata. Jaring dengan ukuran standar yang telah dapat menyebabkan bentos menempel pada bagian bawah frame yang tersedia untuk digunakan di daerah-daerah sedimen halus untuk memungkinkan untuk meminimalkan pergerakan organisme luar dari area sampling semua sample.








Gambar 11. Surber Net
 
 










4.3.3 Alat penyaring sedimen
Alat yang digunakan  untuk menyaring sedimen disebut dengan Saringan Bertingkat. Untuk proses penyaringan / pemisahan dapat dilakukan berdasarkan berdasarkan perbedaan  ukuran partikel mulai dari ukuran yang besarnya sampai berukuran mini Cara Pemakaian Saringan Bertingkat ini yaitu dengan cara meletakkan sampel tanah diatas penyaringan yang sudah dipasang bertingkat, lalu menyiram sampel tersebut dengan air dan menunggukan beberapa saat agar partikel yang berukuran kecil bisa sampai berada di bagian bawah (Setiadi, 1989).








Gambar 12. Sarinagn Bertingkat
 
 








4.3.4 Salinitas Air
Air berpengaruh terhadap ekosistem  termasuk makhluk hidup di dalamnya karena air dibutuhkan untuk kelangsungan hidup organisme. Hampir semua makhluk hidup membutuhkan air. Karena itu,air merupakan komponen yang sangat vital bagi kehidupan. Sebagian besar tubuh makhluk hidup tersusun oleh air dan tidak ada satupun makhluk hidup yang tidak membutuhkan air. Meskipun demikian,kebutuhan organisme akan air tidaklah sama antara satu dengan yang lainnya. Salinitas merupakan jumlah dari seluruh garam-garaman dalam gram pada setiap kilogram air laut.
 Alat yang digunakan untuk mengukur salinitas air atau kadar air  disebut Salinometer atau dapat juga dengan menggunakan refraktometer. Refraktometer merupakan alat yang digunakan untuk mengukur kadar air. Menurut Lakitan (1997) refraktometer merupakan suatu instrument yang digunakan untuk mengukur pembengkokan dari cahaya yang dilewatkan dari satu medium ke medium lainnya. Refraktometer adalah alat yang digunakan untuk mengukur kadar / konsentrasi bahan terlarut misalnya gula, garam, protein. Prinsip kerja dari refraktometer yaitu memanfaatkan refraksi cahaya. Sedangkan cara menggunakan Refraktometer yaitu dengan meneteskan air yang akan diukur kadar airnya. Setelah ditetesi maka akan terlihat pada indeks bias refraktometer. Kemudian setelah diukur akan tampak skala dari kadar air yang diukur.










Gambar 13. Refraktometer

 
 







4.3.5 Kecerahan air
Kecerahan air merupakan ukuran penetrasi sinar matahari atau cahaya yang masuk kedalam perairn yang dan mencapai daerah dibawah air, atau dengan kata lain ukuran sejauh mana kita dapat melihat kedalam air. Alat yang digunakan  untuk mengukur tingkat kecerahan air disebut keping secchi (secchi disk). Dengan menggunakan keping secchi (secchi disk) ini, kita dapat mengetahui batas kecerahan dan kejernihan  di dalam air pada kedalaman tertentu. Prinsip kerja dalam keeping secchi (secchi disk) yaitu dimasukkan alat ini kedala air yang ingin diketahui tingkat kejernihan air pada suatu daerah. Ketika keping secchi (secchi disk) tidak terlihat lagi cahayanya atau berwarna gelap, maka dapat diketahui kedalaman dari sungai atau laut,  kemudian lakukan pengulangan pada tiitik lokasi yang sama agar dapt diketahui dengan jelas kedalaman dan kejernihan air tersebut. Disarankan agar pada saat mengunakan alat ini, hanya satu orang saja yang melakukan pengamatan pada titik lokasi yang sama agar diperoleh data yang akurat. Karena daya penglihatan setiap orang itu berbeda-beda
Menurut Hanafiah, (2005).Secchi disk digunakan untuk melihat seberapa jauh jarak (kedalaman) penglihatan seseorang ketika melihat ke dalam perairan. Caranya, piringan diturunkan ke dalam air secara perlahan menggunakan pengikat/tali sampai pengamat tidak melihat bayangan secchi. Saat bayangan pringan sudah tidak tampak, tali ditahan/ berhenti diturunkan. Selanjutnya secara perlahan piringan diangkat kembali sampai bayangannya tampak kembali. Kedalaman air dimana piringan tidak tampak dan tampak oleh penglihatan adalah pembacaan dari alat ini. Dengan kata lain, kedalaman kecerahan oleh pembacaan piringan secchi adalah penjumlahan kedalaman tampak dan kedalaman tidak tampak bayangan secchi dibagi dua. Meskipun, piringan secchi sebagai alat ukur kecerahan perairan dalam mengukur transparansi air, perolehan datanya masih perkiraan, alat ini sering digunakan karena bentuk dan penggunaannya yang simpel. Meskipun saat itu ada alat lain yang lebih akurat dalam mengukur tingkat kecerahan perairan yaitu fotometer.








Gambar 14.  Keping secchi
 

V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1.    Alat yang digunakan untuk faktor lingkungan perairan adalah Planton net, surbernet, Keping secchi, corong curah hujan, Salinometer, Current meter, Ekman trap, dan Gravimeter.
2.    Alat yang digunakan untuk faktor lingkungan terestrial adalah GPS, Soil moisture meter, Soil thermometer, Kertas lakmus, Furnace dan  pH meter
3.    Alat yang digunakan untuk faktor iklim adalah Thermometer, Evapometer piche, Sling psyhcrometer, Lux-meter, Anemometer, dan Thermometer.
  
5.2. Saran
Untuk pelaksanaan praktikum selanjutnya sebaiknya metoda penggunaan alat lebih diperjelas lagi dan dapat langsung diperagakan serta kepada praktikan agar lebih memperhatikan penjelasan dan cara penggunaan alat.


DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor.
Campbell, N. A. J. B Reece and L.G Mitchel. 2004. Biologi. Erlangga. Jakarta
Campbell, Neil. A. 2001. Biologi edisi 5 jilid II. Erlangga. Jakarta
Campbell, Reece, Mitcheel. 2002. Biologi Edisi Keenam Jilid I. Erlangga. Jakarta.
Hanafiah. 2005. Dasar-dasar Ilmu Tanah. PT. Radja Grafindo Persada. Jakarta.
Handayanto, E. Hiriah, K. 2009. Biologi Tanah. Pustaka Adipura. Yogyakarta.
Hanum, W. 2009. Ekologi. Erlangga. Jakarta
Heddy, S.1994. Prinsip-Prinsip Dasar Ekologi. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta
Irshady. 2011. Ekologi. UGM Press. Yogyakarta
Lakitan, B. 1997. Klimatologi Dasar. Radja Grafindo Persada. Jakarta.
McNaughton. 1990. Ekologi Umum. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta
Michael, P. 1990. Ekologi Untuk Penyediaan Lahan dan Laboratorium. Press.Universitas Indonesia. Jakarta
Odum, E.P. 1971. Fundamental of Ecology. Saunder Com. Phildelphia.
Resosoedarmo, S, Kuswara K dan Aprilani S. 1992. Pengantar Ekologi. Penerbit PT. Remaja Rosda Karya. Bandung
Resosoedarmo, K. dan Soegianto. 1985. Pengantar Ekologi. Gramedia. Jakarta
Setiadi, D. 1989. Dasar-Dasar Ekologi. IPB Press. Bogor
Soemarwoto, O. 1991. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Gramedia.  Jakarta.                                                                                     
Somarwoto, O. 1999. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Djambatan. Jakarta
Sulistyorini, Ari, 2009. Biologi 1. Balai Pustaka. Jakarta.
Syafe’i, E. S. 1990. Pengantar Ekologi Tumbuhan. ITB. Bandung.
Wirakusumah, S. 2003. Dasar-dasar Ekologi. UI Press. Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar